Selasa, Februari 03, 2009

LAMPU MERAH

Saat ini aku berada di Banda Aceh, sebuah kota yang pernah mengalami salah satu bencana terbesar di bumi ini. Kota yang juga pernah menjadi ajang pergolakan perbedaan persepsi, pandangan, paham dan keinginan, sampai konflik mental dan fisik. Kota panas, karena udaranya kerap bersuhu tinggi; kota suram, karena temaram suasana sering pula mendadak hinggap bersama kencangnya angin dengan suara seperti raksasa menggeram di kejauhan; kota waspada, karena gempa terbiasa berguncang semaunya setiap saat, mengolengkan badan ke kiri dan kanan kadang mengocok sebentar isi perut di kala mata hampir terpejam di malam hari. Gambaran kota ini bukan semata buruk, karena kelestarian hutan yang cukup terpelihara telah memberi ketenangan bagi alam dan pencintanya seperti aku, pantai yang berpasir kehitaman tidak menjauhkan keinginan untuk hadir disana sekali waktu mensyukuri alam yang terjaga. Cukup indah. Dan cukup lengkap penderitaannya.

Telah lebih dari setahun, aku sudah terbiasa dengan situasi ini. Gempa-gempa ‘kecil’ setiap bulan, panas terik, angin kencang yang menggemuruh sampai pada kehidupan masyarakat yang punya kegilaan ‘ngopi’. Bukan, bukan peminumnya yang gila, tetapi mungkin penjualnyalah yang sebenarnya mania atau terobsesi - atau apalah istilahnya - terhadap kopi, sampai-sampai tak bisa berpisah dari kopi, akhirnya merasa terpuaskan dan memutuskan untuk menjual kopi saja karena dengan menjual kopi maka setiap saat dia akan tetap bertemu dengan kopi (hah … ? ).

Semua itu menjadi ‘enjoyable habit’ bagi kehidupan di kota serambi kota ini (Mekah adalah kota, jadi kalau Aceh adalah serambi Mekah, maka Banda Aceh adalah serambi sebuah kota, kota serambi kota. Lalu dimana ruang tamu, ruang makan dan kamar tidur Mekah. Dimana? )( ….. sorry, it’s just a joke !!).

Namun tiba pada kebiasaan mengamati, menilai bahkan menghakimi (seperti kebiasaan semua yang berpaham demokrasi - bebas dan ‘suka-suka’ mengkritik -), maka geliat pikiran lain akan muncul ketika mengikuti laku dan kebiasaan masyarakat dalam kehidupan berlalu-lintas di kota ini. Apalagi kalau bukan perilaku yang bagaikan berlomba-lomba dalam berkendara. Tidak melaju kencang (karena jalan di kota kecil ini ‘toh’ tidak terlalu lebar), tapi penduduk disini seperti selalu terburu-buru untuk tiba di tempat tujuannya meski hal ini tidak perlu dilakukan (menurutku) di kota yang tidak terlalu padat ini. Tetapi itulah yang terjadi.
Seperti ada perlombaan dalam melanggar (kalau tidak boleh aku katakan sebagai pelecehan) peraturan, peraturan lalu lintas. Ketidakpedulian pada traffic light, memotong kendaraan lain di persimpangan, berkendara melawan arah jalan bahkan di sisi jalur hijau, tanpa lampu di malam hari, tidak mau mengalah pada kendaraan lain dan semua ketidakpedulian pada hal-hal yang seharusnya ‘logic’ dan ‘manusiawi’. Tanpa dapat dibagi lagi kategori dan persentasenya, tua-muda, kaya-miskin, lelaki-wanita, roda empat-roda dua, mobil mewah-mobil ‘butut’, ternyata punya karakter yang hampir sama di jalan terutama di persimpangan, di lampu merah.

Ada komentar bahwa semua ini adalah fenomena biasa untuk sebuah masyarakat yang pernah mengalami ‘trauma’ bencana, terburu-buru dalam mengerjakan sesuatu karena khawatir akan muncul bencana lanjutan, dan mereka harus segera menjauh dari bencana yang mengancam di belakang, bergerak mendahului, berjalan cepat, berlari kencang, berlari, lari, lari, lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii………………….. !!!

Aku telah berusaha maklum sampai kemudian setelah beberapa kali berkunjung ke kota tetangga lainnya – Medan – yang tak pernah tertimpa musibah besar. Kota padat ini ternyata masih dapat ternominasi sebagai pemilik masyarakat pelanggar lalu lintas ‘terbaik’, meski tidak untuk semua jenis kendaraan, karena roda empat terlihat lebih ‘patuh’. Kemudian teringat kembali akan Surabaya beberapa tahun yang lalu, Makassar di sekitar tahun 2001, Kediri, Bandung, Palembang, Semarang, Pontianak atau kota manapun besar dan kecil yang pernah aku kunjungi di seantero jagat "Commitment Palapa Sang Gajah Mada" ini. Semuanya memiliki potensi melanggar seperti ini, dengan kadar yang berbeda pastinya.

Artinya ? Artinya bukan trauma yang sebenarnya menjadi alasan (alasan = alamat sasaran) atas ketidakpatuhan. Bukan tsunami yang melahirkan sikap ‘terhege-hege’ (terhege-hege = Malaysia: terburu-buru sampai style nya sendiri terlupakan).

Lalu apa ???

(Sabar, ya. Lanjutannya pasti, tapi waktunya gak janji lagi, karena saya juga harus meluangkan waktu untuk anak-anak saya. I love U, My Readers).

(Luncurannya: DEMOKRASI LAMPU MERAH, kalau tidak lupa. Buat Best Friend, Best Reader di Hanoi, Vietnam, would U remind me continuing this, old man always forget).