Rabu, Maret 04, 2009

HIDUP BERSAMA BUKAN LIVING TOGETHER

Ketika hidup bersama (bukan samen leven, living together atau kumpul kebo) menjadi bagian dari kehidupan kita, maka kesadaran menjalani kebersamaan menjadi pemahaman penting. Sadar bahwa iklim kebersamaan saling memiliki ketergantungan satu dengan yang lainnya dan memahami bahwa sebuah suasana tercipta dari 'keinginan semua'; ketika satu tak menginginkan, maka suasana yang muncul tetap memberi pengaruh - besar atau kecil - kembali kepada akseptasi masing-masing yang hadir.

Hidup bersama berarti menjalani kehidupan bersama-sama dalam satu tempat dan waktu yang bersamaan, setidaknya mensyaratkan lingkungan yang bersinggungan, berdekatan atau terlihat, mutlak melewati kalender waktu dan suasana yang sama. Tak dapat disangkal memang inilah makna visual hidup bersama.

Seyogyanya didalam hidup bersama termanifestasi kebersamaan, bukan kesendirian. Kesendirian atau kesepian adalah ungkapan yang tidak perlu ada dalam konteks hidup jika ditinjau dari sisi keberadaan kita, bukan ditinjau dari konteks kejiwaan yang lebih banyak menggiring manusia pada rasa sentimental seperti rindu, haru, frustrasi atau kesedihan karena tak dapat bertemu dengan seseorang atau tak dapat berada di suatu tempat yang diinginkan.
Kesendirian atau kesepian seperti iklim penuh endemi yang sulit tersembuhkan karena tak ada obat yang mampu menyembuhkan, tak ada teman atau sesuatu tempat bergantung, tempat berkeluh kesah, tempat meminta bantuan, tempat menemukan apa yang kita inginkan. Artinya kesendirian atau kesepian yang berkelanjutan akan menjadi penyakit, dan sang pemulih adalah kebersamaan, yang melahirkan ketergantungan untuk memenuhi setiap keinginan.
Artinya konteks hidup adalah kebersamaan karena keberadaan badan memang tak pernah sendiri.
Dan sekali ini terjadi, seharusnyalah tak akan ada lagi istilah kesepian. Skeptis.

Namun hidup bersama tak pelak lagi melibatkan berbagai karakter dari berbagai individu yang memiliki berbagai keinginan. Keinginan seseorang yang memberikan pengaruh besar, sering menyeret seseorang yang lain untuk menyampaikan hal-hal yang selama ini tidak pernah tercetuskan. Kalau sudah seperti ini, maka kebijaksanaan, cara pandang dan pengalaman dalam mengartikan, memiliki peranan penting dalam menafsirkan, menilai dan selanjutnya mengikuti, mempercayai, dan menjadikannya rujukan.

Penafsiran atas topik penciptaan atau perubahan iklim yang akan dan telah terjadi - apakah dapat diterima atau mempunyai nilai tertentu - memang membutuhkan kebijaksanaan, cara pandang dan pengalaman dari masing-masing penilai. Apabila penilai, atau kalau dapat saya katakan ‘penilai yang kompeten’(kompeten karena jabatan, kompeten karena kekuasaan), memiliki sedemikian 'cetek'nya kebijaksanaan, cara pandang, pengalaman, bahkan lingkup pergaulan yang sangat sempit, maka malapetaka besar dalam kebersamaan mungkin akan terjadi, berantai, mempengaruhi semua aspek, menghasilkan kesemrawutan, chaos, fitnah, kecurigaan, atau kesepian yang tersamar yang semakin melebar tak terkendalikan selain juga akan menghasilkan manusia-manusia pengecut, yang ingin menang sendiri, yang merasa benar sendiri, yang selalu membuat penafsiran sendiri, yang begitu mudah melanggar komitmentnya sendiri (dan menganggap komitment adalah sesuatu yang mudah dierata seenaknya setiap saat) atau yang berlindung dibalik kenyamanan materi, yang tak peduli pada kesulitan pihak lain, yang merasa 'aneh' terhadap keikhlasan orang lain, namun tetap merasa 'nyaman' karena masih memiliki kesempatan yang ‘lebih’ untuk menjalankan hal-hal yang esensial dibandingkan orang lain, menurutnya. Cuek aja lagee.
Dan disini kepedulian hanyalah satu bentuk pertimbangan apakah menguntungkan ataukah merugikan.
Nilai-nilai kebersamaan mempunyai kriteria berbeda bagi anggota lingkungan seperti ini. Kesadaran tidak perlu mereka kembangkan lagi. Titik adalah titik. Dan mereka akan terus mempertahankan dan mungkin mengembangkan nilai-nilai nya sendiri sampai kapanpun. Benar untuk mereka, salah untuk yang lainnya.

Lalu kebersamaanpun menjadi bahan tertawaan di dalam lingkungan ini, apatah lagi oleh lingkup luar. Kebesaran jiwa terciuti, rapuh dan tak berselera. Kebersamaan telah tercemari. Saling meludahi, mengotori, tanpa ada saling mengetahui antar masing-masing pihak. Saling menuduh, tanpa saling mengetahui. Saling menertawai, tanpa saling mengetahui. Setan-pun ikut tertawa. Sebuah 'benchmark tersamar' yang sangat tak dapat diandalkan dalam persaingan. Cuma jadi cibiran.